[Review] And Then There Were None - Agatha Christie

Title of Book: And Then There Were None (Lalu Semuanya Lenyap)
Author: Agatha Christie
Publisher: PT Gramedia Pustaka Utama
Publication Year: 2008
Language: Bahasa Indonesia
Translator: Mareta
Format: Paperback
Pages: 291



Sepuluh orang diundang ke sebuah rumah mewah dan modern di Pulau Negro, di seberang pantai Devon. Walaupun masing-masing menyimpan rahasia, mereka tiba di pulau itu dengan penuh harapan, pada suatu sore musim panas yang indah.
Tetapi tiba-tiba terjadi serentetan kejadian misterius. Pulau itu berubah menjadi pulau maut yang mengerikan. Panik mencekam orang-orang itu ketika mereka meninggal satu demi satu... satu demi satu...



Sepuluh orang dari berbagai latar belakang mendapat surat misterius yang mengundang mereka untuk menghabiskan liburan di sebuah pulau terpencil bernama pulau Negro. Pulau tersebut begitu misterius sehingga menarik minat mereka dan mereka pun mengiyakan undangan tersebut. Namun mereka mulai menyesali keputusan mereka ketika makan malam pertama disajikan dan sebuah rekaman yang berisi tentang masa lalu kelam dari sepuluh orang tersebut menggema di ruang makan. Kemudian satu demi satu pengunjung pulau mati dengan cara yang tidak disangka-sangka, mengingatkan mereka akan sajak Ten Little Negroes (Sepuluh Anak Negro) yang dipajang di kamar mereka. Belum lagi boneka porselen di meja makan yang ikut menghilang seiring dengan kematian pengunjung pulau.
And Then There Were None merupakan salah satu karya Agatha Christie yang unik. Di buku ini kita nggak bakal menemui Hercule Poirot atau Miss Marple yang akan membantu memecahkan misteri Pulau Negro. Hanya ada sepuluh orang yang terlibat dan siapa saja bisa menjadi korban. Karena mereka berada dalam keadaan terisolasi dan tidak ada siapapun selain kesepuluh orang tersebut, berarti pembunuhnya adalah salah satu dari kesepuluh orang itu juga. Hal ini membuat situasi menjadi rumit dan menarik. Tidak ada yang bisa dipercaya. Bahkan dari sisi pembaca pun, saya otomatis tidak begitu saja menelan mentah-mentah narasi dari tiap tokoh.
Walaupun memiliki konsep yang unik, saya tetap merasa bahwa misteri And Then There Were None terlihat terlalu diatur dan dipaksakan. Beberapa pembunuhan terkesan terlalu rapi untuk dikatakan kebetulan. Seakan-akan korban ‘kebetulan’ memilih untuk melakukan hal yang telah diprediksi oleh si pembunuh sehingga pembunuhan dapat terjadi sesuai dengan sajak. Setelah beberapa pembunuhan terjadi, para pengujung pulau berhasil mengenali keterkaitan antara cara korban meninggal dengan sajak Sepuluh Anak Negro. Tetapi, setelah memahami makna sajak bukannya dapat mengantisipasi, pembunuhan malah terus terjadi. Selain itu badai yang menerpa Pulau Negro seakan mendukung rencana si pembunuh untuk tetap memutus hubungan antara Pulau Negro dan dunia luar.
Tokoh dalam buku ini yang menurut saya menarik untuk dicermati adalah Vera. Pada rekaman yang diputar saat makan malam pertama, suara dalam rekaman ‘menuduh’ kesepuluh orang telah melakukan pembunuhan. Walau makna pembunuhan dalam buku ini cenderung lebih fleksibel dari makna pembunuhan sebenarnya, tiap orang yang mendengar memberi reaksi yang berbeda-beda. Tentu saat pertama mereka membantah tuduhan tersebut. Tetapi setelahnya tuduhan tersebut membuat mereka terbayang akan masa lalu mereka. Ada yang tidak merasa bersalah sama sekali seperti Lombard, tetapi ada juga yang kemudian diliputi rasa bersalah yang mendalam sehingga mengalami mental breakdown seperti Jendral Macarthur. Namun lain halnya dengan Vera. Rasa bersalah dalam diri Vera muncul secara perlahan. Vera menjadi sering berhalusinasi sehingga akhirnya Vera mulai tidak tahan dan memutuskan untuk melakukan hal yang diharapkan oleh si pelaku. 
And Then There Were None termasuk ke dalam buku misteri dengan aksi dan plot yang cukup menegangkan. Saya terus merasa penasaran dengan kelanjutan cerita di buku ini. Buku ini memiliki bab-bab atau bagian-bagian yang cukup pendek dan penuh dengan dialog singkat sehingga buku ini menjadi mudah untuk diikuti. Selain itu, pembaca jadi mudah untuk melanjutkan membaca kembali jika mereka memutuskan untuk berhenti sejenak.
Hal lain yang menarik perhatian saya adalah nursery rhymes atau sajak dan pemilihan nama pulau yang menjadi latar cerita di buku ini. Saya pernah mendengar sajak yang berjudul Ten Little Indians (Sepuluh Anak Indian), tetapi baru ini saya mendengar sajak Ten Little Negros (Sepuluh Anak Negro) yang jujur saja menurut saya terdengar offensive. Dengan sedikit riset, saya menemukan bahwa judul sajak tersebut sebenarnya merupakan judul dari buku ini. Namun judul tersebut diubah menjadi And Then There Were None ketika buku ini akan dipublikasikan di Amerika, karena judul sebelumnya dianggap offensive.
Walaupun buku ini tidak memiliki penjelasan petunjuk yang detil seperti buku-buku Agatha Christie yang lain, justru di buku ini saya dapat menebak siapa pelaku sebenarnya. But then again, menurut saya merupakan pekerjaan yang rumit untuk dapat merancang misteri pembunuhan sepuluh orang di pulau terpencil tanpa menunjukkan dengan jelas siapa pelakunya. Still, I think Christie has done a good job with this one. I highly recommend this book.

“Sepuluh anak Negro makan malam;
Seorang tersedak, tinggal sembilan”


No comments :

Post a Comment