[Review] I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki - Baek Se-Hee


Title of Book: I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki
Author: Baek Se-Hee
Publisher: Penerbit Haru
Publication Year: 2019
Translator: Hyacinta Louisa
Language: Bahasa Indonesia
Format: Paperback
Pages: 240

Aku: Bagaimana caranya agar bisa mengubah pikiran bahwa saya ini standart dan biasa saja?
Psikiater: Memangnya hal itu merupakan masalah yang harus diperbaiki?
Aku: Iya, karena saya ingin mencintai diri saya sendiri.
I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki
adalah esai yang berisi tentang pertanyaan, penilaian, saran, nasihat, dan evaluasi diri yang bertujuan agar pembaca bisa menerima dan mencintai dirinya.
Buku self improvement ini mendapatkan sambutan baik karena pembaca meraskan hal yang sama dengan kisah Baek Se Hee sehingga buku ini mendapatkan predikat bestseller di Korea Selatan.

-----------------------

I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki adalah buku nonfiksi yang berisi catatan terapi seorang wanita yang mengidap distimia atau depresi berkepanjangan. Buku ini terdiri dari interaksi antara penulis dan terapis yang berupa tanya jawab di setiap babnya. Tiap bab mewakili interaksi penulis dalam satu sesi dan ditutup oleh kesimpulan yang diambil oleh penulis dari tiap sesi. Di edisi terjemahan Bahasa Indonesia, terdapat kata pengantar yang ditulis oleh Dr. Jiemi Ardian, Sp. KJ. Beberapa istilah psikiatri yang ada di buku dijelaskan sedikit oleh Dr. Jiemi di sini.

Saya pertama tertarik dengan buku ini karena saya memang sedang butuh bacaan yang membahas tentang mental illness. Biasanya, buku tentang mental illness yang saya temui membahas tentang depresi berat dan anxiety. Baru ini saya menemui buku yang membahas tentang distimia. Istilah ini malah baru pertama kali saya dengar dari buku ini, semakin membuat saya tertarik dengan buku ini. Belum lagi kover buku ini yang berwarna ungu dilengkapi dengan ilustrasi yang mungkin cukup menggambarkan situasi si penulis.

Saya akan berusaha untuk tidak terlalu curhat di sini dan fokus ke overall reading experience saya. Dari sisi penerjemahan, saya merasa gaya bahasa yang digunakan kaku sekali. Mungkin di bahasa aslinya seperti itu, saya juga nggak tahu karena saya tidak bisa berbahasa Korea. Beberapa kalimat bahkan saya perlu membaca berulang kali agar paham maksudnya. Again, bisa jadi ini memang karena gaya berbicara orang Korea yang aslinya seperti itu saya nggak tahu pasti. Yang jelas, saya bersyukur ada yang menerjemahkan buku ini karena menurut saya buku ini cukup mengedukasi saya mengenai distimia.

Di buku ini Baek Se-Hee banyak bercerita tentang yang dia rasakan di kesehariannya. Perasaan cemas, tidak percaya diri, takut tidak diterima oleh orang lain, dan sebagainya yang menurut saya sebenarnya banyak dialami orang lain. Tindakan yang dilakukan oleh Baek Se-Hee, untuk pergi berobat ke psikiater setelah menyadari bahwa ada yang salah di hidupnya menurut saya adalah tindakan yang berani, karena tidak semua orang berani melakukan hal tersebut. Catatan terapi Baek Se-Hee menunjukkan bahwa depresi bukan hanya berarti diam dalam gelap selama berjam-jam. Depresi bisa jadi datang dan pergi atau bahkan mungkin tak terlihat sama sekal; tetapi cukup untuk membuat si penderita mengalami kekosongan dan tidak dapat menikmati hidupnya. Bagi saya, buku ini menunjukkan bahwa walaupun masalah yang kamu hadapi mungkin tidak terlihat seberat masalah yang dihadapi orang lain, bukan berarti masalahmu tidak valid. Setiap orang punya kemampuan dan daya tahan yang berbeda dan bagi saya this is what hits home really hard. Ketika membaca buku ini, ada kalanya saya harus berhenti sejenak, take a deep breath, take a look at my own life, then continue on my reading. Saya nggak menyarankan untuk baca buku ini in one sitting. Karena banyak hal-hal yang dibahas di buku ini yang dapat digunakan sebagai bahan self-reflection. That is to say, if you feel the same as what she experiences, please seek for professional help. Membaca satu buku tentang mental illness doesn’t make you an expert. Please don’t self-diagnose and seek for professional help instead. Saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca but maybe read it on your good day, just to be safe

Ketika kita berada dalam posisi yang diuntungkan, kita tidak memberlakukan standar tertentu. Tetapi, ketika kita berada dalam posisi yang dirugikan, kita memberlakukan standar tersebut.

Mengapa Anda melihat pembenaran sebagai suatu hal yang negatif?
Sebenaranya, itu adalah salah satu dari mekanisme pertahanan ego yang dewasa. Karena mencari alasan atau penyebab dari luka yang didapat atau keputusan yang dibuat oleh diri sendiri.


No comments :

Post a Comment