Author: Sapardi Djoko Damono
Publisher: Gramedia Pustaka Utama
Publication Year: 2015
Language: Bahasa Indonesia
Format: Paperback
Pages: 144
Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar sapu tangan yang telah ditenunnya sendiri.
Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang.
-----------------------
Hujan Bulan Juni bercerita tentang Sarwono, seorang dosen Antropolog yang mengajar di Universitas Indonesia. Sarwono mencintai Pingkan, seorang asisten dosen di Universitas Indonesia, yang juga merupakan adik sahabatnya yang bernama Toar. Sarwono dan Pingkan memiliki latar belakang yang berbeda. Sarwono adalah orang Jawa tulen, sedangkan Pingkan campuran Jawa-Menado. Perbedaan latar belakang ini yang terkadang menjadi penghalang hubungan mereka. Sebagai tambahan, Pingkan mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke Jepang sehingga mereka akhirnya terpisahkan jarak. Rindu Sarwono terhadap Pingkanlah yang menjadi inti cerita utama novel ini.
Hujan Bulan Juni bermula dari sebuah puisi yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono (SDD) pada tahun 1989. Jujur, saya bukanlah penikmat puisi. Saya selalu kurang bisa memahami makna puisi. Puisi yang ditulis seindah apapun jadi tidak ada artinya bagi saya karena saya tidak mengerti maksudnya. Namun berbeda dengan puisi-puisi SDD. Dari beberapa puisi Beliau yang sudah saya baca, saya dapat mengerti maksudnya karena Beliau menggunakan kata-kata yang umum dipakai sehari-hari dan tidak berbelit. Kalaupun saya tidak sepenuhnya mengerti maknanya, puisi-puisi Beliau mampu menimbulkan sebuah suasana dan dapat menggugah perasaan. Seperti puisi Hujan Bulan Juni yang menjadi inspirasi novel ini. Semakin saya menyelami puisi tersebut, semakin saya merasa sedih dibuatnya dan bersimpati dengan keadaan Sarwono. Walaupun begitu, dibalik kesedihan yang ditimbulkan, semakin saya dapat mengapresiasi keindahan puisi ini.
Novel Hujan Bulan Juni dibuka dengan Sarwono yang tengah menjalani tugas keluar kota untuk menyelesaikan sebuah penelitian. Sarwono merindukan kekasihnya, Pingkan, yang tengah melanjutkan studi ke luar negeri. Rasa rindunya kemudian menginspirasi dirinya untuk menulis sebuah puisi yang akhirnya diterbitkan di koran. Lalu kita diajak kembali ke beberapa bulan sebelum Pingkan berangkat melanjutkan studi ke Jepang.
Buku ini dikisahkan dari sudut pandang Sarwono. Di bulan-bulan menuju keberangkatan Pingkan, kita dapat melihat kekhawatiran Sarwono yang akan ditinggal oleh Pingkan. Seperti puisinya, Sarwono memilih untuk memendam kerinduannya terhadap Pingkan. Walaupun ada masa ketika Sarwono mulai meragukan kesetiaan Pingkan dan kelangsungan hubungan mereka, Sarwono tetap berusaha percaya dan mengalihkan pikirannya ke hal lain; seperti penelitian yang mengharuskannya berkeliling Indonesia.
Dari segi penulisan, Hujan Bulan Juni sedikit susah dimengerti karena terdiri dari paragraf-paragraf panjang yang titik atau komanya jarang terlihat. Membacanya jadi sedikit melelahkan karena terkesan tidak ada jedanya. Pemilihan kata yang digunakan tercampur antara kosakata kekinian santai dan gaya bahasa formal jaman dulu. Menurut saya hal tersebut juga dipengaruhi oleh siapa yang menggunakan kata-kata tersebut. Sebagai contoh, Pingkan yang karakternya lebih carefree cenderung menggunakan bahasa santai. Sedangkan Sarwono yang serius cenderung menggunakan bahasa formal. Bahkan keformalannya sering menjadi bahan candaan Pingkan yang senang menjulukinya laki-laki zadul.
Buku ini merupakan buku pertama dari trilogy Hujan Bulan Juni. Karena merupakan pembuka kisah Sarwono dan Pingkan, akhir dari buku ini dibiarkan terbuka. Nasib kisah cinta mereka dibiarkan menggantung. Apalagi mengingat buku ini hanya terdiri dari 144 halaman. Satu bagian paling favorit saya adalah ketika Pingkan mendeskripsikan kota Jakarta setelah Ibunya mengungkapkan keinginannya untuk tinggal di Jakarta bersama Pingkan bila kelak ia menikah dengan Sarwono. Sebagai pendatang yang memiliki love-hate relationship dengan Jakarta, saya merasa tersentuh dengan deskripsi Jakarta menurut Pingkan. Mungkin buku ini bukan untuk semua orang. Saran saya kalau berniat untuk membaca buku ini, coba baca puisinya terlebih dahulu dan resapi maknanya. Karena berdasarkan pengalaman saya, dengan begitu saya jadi lebih memahami kesedihan Sarwono dan lebih menikmati novel ini.
Jakarta itu cinta yang tak hapus oleh hujan tak lekang oleh panas
No comments :
Post a Comment