Author: Becky Albertalli
Publisher: Penerbit Spring
Publication Year: 2017
Language: Bahasa Indonesia
Translator: Brigida Ruri
Format: paperback
Pages: 324
Gara-gara lupa me-logout akun E-mailnya, Simon tiba-tiba mendapatkan sebuah ancaman. Dia harus membantu Martin, si badut kelas, mendekati sahabatnya, Abby. Jika tidak, fakta bahwa dia gay akan menjadi urusan seluruh sekolah.Parahnya lagi, identitas Blue, teman yang dia kenal via E-mail akan menjadi taruhannya.Tiba-tiba saja, kehidupan SMA Simon yang berpusat pada sahabat-sahabat dan keluarganya menjadi kacau balau.
Berkenalan melalui social media merupakan hal yang biasa bagi anak muda jaman sekarang. Begitu pula dengan Simon. Karena sebuah puisi yang ia baca di Tumblr, ia akhirnya berkirim-kiriman email dengan penulis puisi yang Simon sebut sebagai Blue. Walaupun mereka saling tidak mengetahui identitas satu sama lain, Simon merasa dapat menceritakan segala hal kepada Blue. Termasuk fakta bahwa dia sebenarnya gay. Sialnya, suatu saat Simon lupa keluar dari akun emailnya dan teman ekskul drama Simon yang bernama Martin melihat email Simon. Martin pun mengancam Simon untuk membantunya mendekati seorang gadis bila tidak mau isi emailnya disebarkan di sekolah.
Berdasarkan judul dan premis buku ini, dapat ditebak bahwa tokoh utama buku ini adalah Simon. Simon Spier adalah seorang siswa SMA berumur 16 tahun. Simon bukan siswa terpopuler di sekolahnya, tapi dia memiliki beberapa teman akrab yang selalu menemaninya makan siang bersama. Simon belum lama menyadari bahwa dirinya gay, sehingga ia belum memberitahu siapa pun di lingkaran sosialnya, termasuk keluarganya. Istilahnya, Simon masi berada di dalam closet (lemari) karena ia belum coming out. Bahasan itulah yang sebenarnya banyak dibicarakan di buku ini. Tapi mengingat Simon juga remaja biasa, permasalahan lain yang dialami remaja pada umumnya juga ikut diceritakan. Seperti cinta pertama, pertemanan, dan keluarga.
Simon vs The Homosapiens Agenda diceritakan melalui sudut pandang Simon. Saya senang membaca narasi Simon. He’s funny, sarcastic, and he has a lot of sass. Tidak jarang saya tersenyum membaca komentar-komentar Simon. Membaca interaksi Simon dengan orang-orang di sekitarnya juga menyenangkan bagi saya. Meski ada kalanya ia mengalami fall out dengan teman-teman dekatnya (yang menurut saya realistis, apalagi untuk remaja seusia SImon), terlihat bahwa Simon dikelilingi oleh teman-teman yang baik.
Saya juga senang sekali dengan penggambaran keluarga Simon di buku ini, terutama orang tua Simon. Menurut saya, jarang sekali buku YA memberi peran penting bagi orang tua protagonis. Biasanya, mereka hanya muncul sekilas kemudian tidak diceritakan kembali. Berbeda dengan orang tua Simon, they are caring, supportive, and they are involved in Simon’s life, walaupun mereka juga memiliki kekurangan yang menurut saya manusiawi sekali. Contohnya bagaimana mereka terkadang membesar-besarkan hal yang berhubungan dengan anak mereka.
“Mereka menaruh diriku dalam sebuah kotak, dan setiap saat aku mencoba membuka penutupnya, mereka menutupnya kembali. Seolah tak satupun dari diriku yang boleh berubah.”
Kisah cinta di buku ini menurut saya adorable sekali. Namanya juga cinta pertama. Apalagi Simon ‘belum pernah’ bertemu dengan Blue. Mulai dari menebak-nebak identitas Blue, deg-degan menunggu email, sampai memikirkan segala skenario yang akan terjadi bila mereka bertemu. Di buku ini juga ada beberapa bab yang berisi pertukaran email antara Simon dan Blue, and they are so cute. Reading those emails, I just can’t help but smile.
Berkaitan dengan isu LGBT+ yang ada di buku ini, Simon sempat membahas bagaimana di society sekarang orientasi seksual straight adalah default yang juga dikaitkan dengan bagaimana ras Caucasian atau kulit putih adalah default. Permasalahan ras ini yang menurut saya cukup penting untuk dibahas. Karena sedihnya, saya pun berpikiran seperti itu. Jika saya membaca sebuah buku yang ditulis oleh penulis luar dan si penulis tidak menyebutkan ras sang tokoh, secara tidak sadar saya langsung menganggap tokoh tersebut adalah orang kulit putih. Sadly, that’s how our minds which programmed by the society work, for now (hopefully). Menurut saya, cukup penting bagi penulis untuk menyebutkan dengan jelas identitas tokoh sejak awal (kecuali berpengaruh ke plot) agar pembaca tidak terbiasa menganggap kulit putih adalah default. Bila penulis tidak menyebutkan sama sekali, bukan berarti ia lepas dari tanggung jawab tersebut dan menyebut bukunya diverse. Karena sekali lagi, in our current society, pembaca malah akan menganggap tokohnya berkulit putih (and yes, I’m talking about you, JK Rowling).
Terlepas dari tema LGBT+ yang mungkin agak kurang diterima di pembaca Indonesia, Simon vs The Homosapiens Agenda adalah buku yang menarik untuk dibaca. It’s cute, lighthearted, and somewhat relatable. Kalau tidak keberatan dengan bahasan LGBT+ yang ada di buku ini, I recommend reading this book.
“Manusia itu seperti rumah dengan ruangan yang luas dan jendela yang sempit. Dan mungkin sesungguhnya itu sesuatu yang baik, karena dengan begitu kita tidak akan berhenti saling memberikan kejutan satu sama lain."
No comments :
Post a Comment