Author: Carloz Maria Dominguez
Publisher: Marjin Kiri
Publication Year: 2016
Language: Bahasa Indonesia
Translator: Ronny Agustinus
Format: paperback
Pages: 76
Seorang profesor sastra di Universitas Cambridge, Inggris, tewas ditabrak mobil saat sedang membaca buku. Rekannya mendapati sebuah buku aneh dikirim ke alamatnya tanpa sempat ia terima: sebuah terjemahan berbahasa Spanyol dari karya Joseph Conrad yang dipenuhi serpihan-serpihan semen kering dan dikirim dengan cap pos Uruguay. Penyelidikan tentang asal usul buku aneh itu membawanya (dan membawa pembaca) memasuki semesta para pecinta buku, dengan berbagai ragam keunikan dan kegilaannya!
Rumah Kertas dibuka dengan kejadian tragis di mana seorang professor sastra Universitas Cambridge meninggal ditabrak mobil ketika sedang membaca buku Emily Dickinson. Rekan si professor, yang nantinya berharap akan menggantikan posisinya di Cambridge, mendapat kiriman paket berisi buku yang lusuh dan ditutupi oleh serpihan-serpihan semen. Penasaran, ia pun menelusuri asal-usul paket tersebut dan berniat untuk mengembalikannya.
Saya rasa, Rumah Kertas lebih cocok disebut sebagai novella, karena Rumah Kertas cukup singkat dan hanya terdiri dari 76 halaman. Honestly, saya nggak akan tau kalau buku ini ada kalau bukan karena teman saya yang naruh buku ini di wishlistnya. For one thing, penulis buku ini adalah seorang berkebangsaan Argentina. I’ve never read a book written by an Argentine writer, so it’s exciting.
Kalau boleh dirangkum menjadi sebuah kalimat, buku ini adalah buku tentang pecinta (atau penimbun, *uhuk*) buku dan hal-hal gila yang mereka lakukan. Bagi pecinta buku seperti saya, tentu kebiasaan-kebiasaan yang disebutkan di buku ini relatable banget. Contohnya, pilih-pilih ketika meminjamkan buku koleksi, memilih pakai pembatas buku untuk menghindari halaman buku tertekuk, menggunakan sticky tabs untuk menandai bagian favorit di buku, dan sebagainya.
Walaupun buku ini relatable bagi saya, saya tidak memberi rating tinggi buat buku ini. Pertama, karena plot cerita di buku ini terasa anti klimaks. Tokoh utama buku ini, yang tidak bernama, mencoba menguak misteri dibalik paket buku misterius. Setelah ditelusuri asal-usulnya, nothing really happens. Nggak ada penyelesaian antara si tak bernama dengan pemberi buku. That’s it. It’s all speculative on his part. Saya jadi bingung tujuannya cerita ini apa. Sekedar untuk mencontohkan kegilaan pecinta buku kah? Kedua, karena saya merasa buku ini sebenarnya memiliki gaya penulisan dengan bahasa yang indah. Tapi, setelah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, entah kenapa kata-kata yang digunakan jadi aneh dan tidak terdengar puitis. Malah cenderung jadi panjang dan mutar-mutar nggak jelas. Saya harus baca berkali-kali untuk bisa memahami maksudnya. Contohnya pragraf di bawah ini.
“Namun aku tidak tega meninggalkan buku itu di sana. Kupertahankan buku itu erat-erat melawan rasa muak dan kurangnya ketakwaan, sebab andai sekalipun memang itulah nasib yang menanti kita – nasib si buku dan nasibku, serta segala sesuatu yang pada suatu masa merangkak keluar dari lendir laut yang menjijikkan untuk merenungi makna hidupnya di daratan – ia toh bisa dilawan, sekalipun yang bisa kita perbuat Cuma menawarkan penundaan lambat dan berkepanjangan. ”
I mean, wtf?! Ya, saya tahu menerjemahkan dengan tanpa merubah makna dan maksud penulis asli itu susah. Ah, entahlah. Seandainya saya bisa membaca dalam bahasa aslinya. All in all walaupun buku ini bukan buku terbaik yang pernah saya baca, tapi lumayan bisa mengundang senyum. Apalagi di bagian yang ‘menyindir’ pecinta/ penimbun buku.
No comments :
Post a Comment